Kementerian Keuangan berpendapat bahwa usaha Indonesia untuk meningkatkan rasio pajak harus turut mempertimbangkan implikasinya terhadap usaha mikro dan kecil.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, mengungkapkan setidaknya sebesar 50% dari PDB Indonesia merupakan kontribusi dari usaha mikro dan kecil. Besarnya peran usaha kecil dan mikro dalam perekonomian Indonesia perlu dipertimbangkan sebelum menentukan kebijakan pajak.
“Setengah dari PDB yang akan menjadi basis pajak kita itu usaha kecil dan mikro yang pertanyaannya adalah mau dipajaki atau tidak? Kalau usaha mikro itu [omzetnya] Rp300 juta per tahun, berarti kan Rp1 juta per hari. Apa iya akan kita pajaki dengan cara yang sama atau tidak?” kata Yon.
Baca Juga: PMK 71/2023 Menetapkan Bahwa Tinggal 4 Jenis Mineral Mentah Yang Dapat Diekspor
Selama ini, usaha mikro dan kecil dengan omzet sampai Rp4,8 miliar telah diberikan perlakuan khusus dengan pemberlakuan skema PPh final sebesar 0,5% selama 3 tahun pajak hingga 7 tahun pajak.
Lewat UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah dan DPR sepakat untuk memberikan fasilitas pembebasan pajak atas omzet senilai Rp500 juta khusus bagi wajib pajak yang memakai skema PPh final untuk menjalankan kewajiban pajaknya.
“Pastinya ada bagian yang hilang karena pajaknya tidak kita kumpulkan. Tetapi tidak masalah, pajaknya hilang tetapi ekonominya akan tumbuh. Ini adalah bagian dari tax expenditure,” lanjut beliau.
Melalui reformasi pajak, rasio pajak Indonesia diharapkan bisa naik level ke 15% dari PDB.
Sekedar diketahui, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) baru-baru ini mengungkapkan rasio pajak Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di Kawasan Asia dan Pasifik.
Pada tahun 2021, rasio pajak Indonesia tercatat hanya sebesar 10,9%, lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata Kawasan yang sebesar 19.8%. Rasio pajak Indonesia pada tahun tersebut tercatat hanya unggul dari Bhutan (10,7%), Pakistan (10,3%), dan Laos (9,7%).