Pajak Karbon Adalah

Pengurangan dampak perubahan iklim menjadi perbincangan global yang penting untuk dibahas. Alasannya adalah pesatnya peningkatan populasi dunia dan pertambahan industri yang masif telah menimbulkan masalah rumit bagi lingkungan.

Tidak menimbulkan perdebatan ketika banyak pemerintah, organisasi, hingga individu yang mencari solusi paling tepat untuk masalah ini. Di antara sejumlah ide yang dikemukakan, pajak karbon dipandang menjadi salah satu pilihan untuk menanggulangi permasalahan iklim, baik pada skala lokal maupun global.

Perekonomian global yang dihantam pandemi Covid-19 memicu semakin kuatnya pembahasan pajak karbon. OECD dan IMF memberi saran agar pajak karbon menjadi solusi mitigasi iklim sekaligus sumber penerimaan baru pascapandemi Covid-19.

Menurut IBFD International Tax Glossary (2015), pajak karbon (carbon tax/energy tax/CO2 tax) merupakan pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil. Tujuan pengenaan pajak ini adalah untuk mengurangi emisi gas karbondioksida dan gas rumah kaca lainnya.

Baca Juga: Penambahan Dasar Penagihan Pajak Menurut PP 50/2022

Sebagian besar pajak karbon berbentuk cukai, baik sebagai sumber penerimaan umum maupun dialokasikan untuk tujuan tertentu. Misalnya, cukai atas minyak mentah dan produk minyak untuk mengatasi kerusakan dari tumpahan minyak bumi.

Oxford Reference mengatakan bahwa pajak karbon adalah pajak atau biaya tambahan atas penjualan bahan bakar fosil (minyak, batu bara, dan gas) yang bervariasi sesuai dengan kandungan karbon pada setiap bahan bakar.

Tax Foundation (2019) menganggap pajak karbon sebagai Pigouvian tax. Pigouvian tax adalah pajak atas kegiatan ekonomi yang menciptakan eksternalitas negatif. Pajak karbon menyebabkan individu yang membeli barang yang diproduksi melalui proses produksi padat karbon menanggung biaya tambahan. Alasannya, pajak karbon menginternalisasi biaya eksternal atas kerusakan lingkungan dengan menambahkannya pada harga barang tersebut. Akibatnya, semua biaya barang, termasuk biaya eksternal terhadap lingkungan, dibayar oleh konsumen dan produsen barang.

Menurut World Bank (2020), ada dua cara utama untuk menetapkan besaran pajak karbon, yaitu emissions trading systems (ETS) atau cap and trade system dan pajak karbon. Metode kedua merupakan yang dipakai di Indonesia.